Ma-te-ma-ti-ka. Kata dengan sepuluh huruf ini memiliki banyak nama panggilan. Mulai dari MTK, math, pelajaran angka doang, pelajaran sulit, pelajaran yang dibenci sampai ke panggilan matimatika. Salah satu alasan mengapa banyak anak menggunakan istilah matimatika karena mereka nyaris mati untuk memahami satu materi, itu pun mereka tetap tidak paham karena saking sulitnya pelajaran tersebut.
Pelajaran Sulit
Apakah benar matematika sesulit itu? Kalau kita tanyakan kepada para pria, saya yakin jika mereka disuruh memilih antara mengerjakan matematika berbekal buku paket dan memahami isi kepala wanita dengan hanya berbekal kamus perasaan wanita banyak yang memilih matematika masih jauh lebih mudah hahahaha karena matematika angkanya pasti. Walaupun wanita yang konon katanya butuh kepastian tetap saja banyak faktor X yang membuat kepastian tersebut menjadi abu-abu.
Kalau begitu, apa yang membuat matematika sebegitu sulit?
Mindset
Tidak sedikit masyarakat yang mengatakan bahwa anak pandai matematika adalah anak yang paling pintar dikelasnya. Bahkan terkadang orangtua pun memakai standar yang sama. Padahal jika kita melihat kepada kecerdasan majemuk menurut Howard Gardner, matematika hanyalah salah satu dari delapan kecerdasan yang terdapat dalam diri anak. Itu berarti masih ada tujuh kecerdasan yang masih mungkin orantua kembangkan daripada hanya berkutat pada satu kecerdasan yang mungkin bukan di matematika kecerdasan dominan anak. Mengapa bisa muncul standar seperti itu? Hal ini disebabkan karena rata-rata anak yang pandai matematika juara kelas dan terpancar aura kepandaiannya (yang terakhir hanya perkiraan saya saja, mohon abaikan).
Selama saya mengajar privat matematika mulai dari tingkat sekolah dasar dan tingkat menengah pertama, tidak sedikit murid saya yang juara kelas memiliki nilai matematika yang nyaris sempurna. Namun mereka juara kelas bukan karena nilai matematika mereka saya yang baik. Banyak faktor yang membuat mereka juara kelas, salah satunya adalah kegigihan serta ketekunan mereka dalam mengerjakan semua tugas tepat waktu. Tidak jarang mereka mengerjakan tugas, bukan hanya matematika, sampai begadang dan dikerjakan penuh dengan keseriusan dan ketelitian. Hal ini yang tidak dilihat oleh anak-anak yang mengeluhkan matematika itu sulit. Padahal jika mereka mau usaha sedikit saja berlatih soal-soal yang terdapat di buku paket tentu mereka tidak akan terlalu kesulitan dalam menghadapi matematika ketika ulangan atau kuis diadakan di sekolah.
Mindset orangtua juga mempengaruhi anak dalam mencintai dan membenci sesuai termasuk dalam pelajaran sekolah. Tingkat kesulitan matematika saat ini dikeluhkan para orangtua jauh diatas tingkat kesulitan di saat mereka sekolah 20-30 tahun lalu. Melihat dari kacamata saya pribadi sebagai pengajar hal tersebut ada benarnya juga. Banyak pelajaran yang dulu ketika saya bersekolah di era tahun 90-an dipelajari di kelas enam sekolah dasar, saat ini dipelajari di kelas tiga dan empat. Namun, dengan kemajuan teknologi dan bertebarannya youtube channel yang membahas materi tersebut seharusnya bukan menjadi hal yang sulit lagi ketika kita mau berusaha. Tetapi balik lagi ke mindset orangtua yang menyatakan “matematika mah susah, mending mama ditanya cara membuat sayur sop”. Pernyataan tersebut sedikit banyak mempengaruhi pola pikir anak. “Mama aja ga bisa apalagi saya”, padahal itu mindset yang salah karena seharusnya jika orangtua tidak bisa, bagaimana caranya agar sang anak tidak mengikuti jejak orangtua.
Faktor lainnya adalah jarangnya orangtua berlatih mengerjakan soal matematika. Sesuatu yang jarang dilatih akan membuat kita kesulitan ketika tiba-tiba dihadapkan pada persoalan tersebut. Hal tersebut terbilang wajar karena para ibu sudah sibuk dengan segala rupa persoalan rumah tangga sehingga tidak menyisakan sedikit pun waktu untuk mempelajari materi pelajaran dan lebih banyak menyerahkan kepada google dan situs branly. Padahal jika dilihat materi sekolah dasar materi yang masih terbilang mudah dipahami oleh orangtua. Anak diminta untuk menyalin jawaban tanpa memahami apa yang mereka tuliskan. Hal ini jika dibiarkan akan membuat pondasi pengetahuan anak tidak kokoh dan banyak bolong dimana-mana. Ketika anak menginjak ke level berikutnya bolong itu akan semakin banyak dan tidak sempat diperbaiki. Tidak sedikit saya menemukan anak kelas tujuh belum hapal perkalian yang seharusnya sudah dikuasai ketika sekolah dasar. Hal ini bisa menghambat dalam penyerapan materi di kelas yang sudah membutuhkan pemahaman yang lebih tinggi.
Rumus cara cepat
Mempelajari cara cepat bukanlah hal yang tabu. Saya banyak terbantu ketika mengerjakan soal pilihan ganda dengan menggunakan cara cepat. Namun cara cepat yang diberikan tanpa disertai logika dan pemahaman asal muasalanya akan menjebak anak ketika menemukan tipe soal yang berbeda. Padahal seperti yang kita ketahui satu materi dapat dibuat puluhan mungkin ratusan variasi soal tergantung darimana si pembuat soal ingin mengambil sudut pandang.
Pada soal bilangan bulat saja, tipe soal yang mungkin bisa saja membahas tentang penjumlahan, pengurangan, pembagian, perkalian, soal cerita, bahkan kombinasi 2-3 model soal tergantung tingkat kesukaran soal dan jenjang kelas anak. Jika anak hanya diberikan rumus saja dan tidak paham digunakan dalam kondisi dan situasi yang bagaimana akhirnya anak akan banyak menghapal rumus. Naasnya adalah anak hanya pandai menghafal rumus dan ketika akan mengerjakan soal mereka blank soal tipe ini menggunakan rumus yang mana karena saking banyaknya rumus yang mereka hapal. Tidak sedikit saya menemukan anak yang tercampur antara dua rumus yang akhirnya itu membuat anak seperti kalah sebelum berperang dikarena salah strategi (rumus).
Tidak sedikit rumus cara cepat yang saya temui ketika mengajar hanya cocok untuk tipe soal tertentu dan ketika mereka menemui soal yang membutuhkan logika dan kombinasi dari beberapa rumus anak biasanya akan mentok dan langsung frustasi. Hal ini semakin menguatkan mindset bahwa matematika itu sulit.
Orangtua pun tidak sedikit yang menanyakan apakah soal ini ada rumus cepatnya. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan cara instan bukan. Bahkan untuk membuat mie instant pun kita tetap memerlukan proses merebus dahulu, tidak langsung tersaji dimeja. Ini masih menjadi pekerjaan ekstra saya untuk memahamkan kepada murid dan orangtua bahwa membangun pondasi pemahaman akan materi jauh lebih penting dari sekedar menghapal rumus cara cepat.
0 Komentar