Mati-matian Memahami Matematika (Part 2)


Pada tulisan sebelumnya klik disini saya membahas dua faktor yang membuat matematika menjadi pelajaran yang sulit. Yaitu mindset anak dan orangtua serta banyaknya rumus cara cepat yang banyak bertebaran di internet. Pada curhatan kali ini saya akan menambahkan beberapa faktor yang membuat orang takut pada matematika.

Guru yang tepat


Guru juga faktor yang membuat matematika semakin horor dimata anak. Saya mempunyai sebuah kisah. Guru matematika selalu diidentikkan dengan sangar, killer dan banyak julukan negatif yang disematkan kepadanya. Seorang kawan dekat saya selama di kampus bercerita bahwa dia benci dengan matematika selama sekolah di tingkat SMU. Ketika saya tanyakan alasan dia menyatakan bahwa gurunya adalah guru yang “killer”. Anak tidak diberi kesempatan untuk bertanya ketika anak tidak paham dan soal-soal yang diberikan begitu banyak dengan dalih agar anak terbiasa dengan soal. Teman saya padahal bersekolah di sekolah yang notabene no satu di Jakarta Utara yang itu menandakan dia bukanlah orang yang bodoh karena bisa masuk disekolah tersebut. Saya pikir itu tidak mempengaruhi apa-apa karena walaupun di jurusan kami ada mata kuliah statistika, dia bisa menyelesaikan dengan baik. Selang waktu tidak lama, teman saya mengabarkan bahwa dia keluar kelas tahsin padahal itu baru pertemuan pertama. Dan apa alasannya sodara-sodara? Karena suara pengajar guru tahsin sama seperti suara guru matematika teman saya tersebut ketika sekolah. Hanya suara? Benar hanya suara. Sebegitu traumanya teman saya dengan guru matematikanya sehingga ketika dia menjumpai orang yang memiliki suara yang sama itu membuat dia gemetar dan teringat ketakutan dia tentang matematika.

Mencari guru yang tepat bukanlah hal yang mudah, tetapi juga bukan hal yang sulit. Saya pun mengakui ketika saya disekolah, nilai matematika saya pun selalu menonjol bukan dari segi nominal namun dari segi warna yang beda sendiri yaitu berwarna merah. Apa yang membuat saya menjadi senang matematika? Salah satunya adalah saya bertemu dengan guru yang tepat. Tepat disini dalam arti beliau paham tentang ilmu dasar matematika, mengerti kemampuan belajar saya yang terbilang slowleaner, mengerti bahwa saya butuh soal yang bertingkat kesulitanhya agar tidak mudah frustasi, mengerti bahwa ketika saya tidak paham dengan cara X beliau akan memberikan alternatif Y dan Z dan membebaskan saya untuk memilih mana cara yang saya sukai. Hal itu yang saya tularkan kepada murid saya dengan membebaskan cara mana yang mereka suka termasuk jika mereka memiliki cara sendiri, dengan catatan mereka bisa menjelaskan cara mereka tersebut kepada saya. Sekarang saya menikmati peran saya sebagai guru matematika tanpa trauma walaupun dengan background pendidikan yang tidak sesuai (saya lulusan guru PAUD).


Tuntutan orangtua


Matematika ilmu yang menyenangkan
Jangan takut belajar Matematika
Ayo belajar Matematika dengan bahagia
Kalau kamu berlatih pasti bisa

Sepenggal lagu yang dinyanyikan oleh Maria Ulfa menyiratkan bahwa kita sering lupa untuk belajar sesuatu haruslah dilakukan dengan bahagia agar ilmu yang didapatkan cepat terserah dan berkah. Namun banyaknya tuntutan orangtua terutama soal nilai dan harus menguasai semua mata pelajaran membuat anak tidak menikmati proses belajar.

Stigma masyarakat yang menyatakan bahwa anak yang pandai adalah anak yang nilai matematikanya paling tinggi di kelas. Padahal guru saja dalam mengajar hanya menguasai satu sampai dua mata pelajaran agar dibilang ahli. Tuntutan yang banyak dan kadang tidak melihat kondisi psikologis anak membuat anak tertekan dan membenci matematika. Bu Septi Wulandani founder Institut Ibu Profesional (IP) menyatakan bahwa “Meninggikan gunung, bukan meratakan lembah”. Hal selaras dengan kecerdasan majemuk bahwa anak memiliki kecerdasan dominan yang berbeda-beda sehingga kita tidak bisa menuntut anak menguasai semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Bukankah orang yang profesional adalah orang yang ahli dibidang tertentu dan dia mempelajarinya sampai dilevel ahli. Karena dimasa depan anak akan bekerja sesuai dengan kemampuan dia yang paling menonjol dan sesuai dengan minatnya.

Takut salah

Siapa sih manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan? Nabi saja pernah melakukan kesalahan namun nabi mendapat privillege dengan ditegur langsung oleh Alloh. Sebagai manusia yang kerap salah dan lupa, melakukan kesalahan bukanlah aib. Karena dari kesalahan tersebut kita akan belajar bagaimana solusinya. Namun hal ini tidak terjadi di pelajaran matematika, para murid terkesan tidak boleh salah sedikitpun ketika mengerjakan soal latihan. Padahal guru pun pernah keliru dalam menghitung dan menjelaskan sesuatu. Ada tipe murid yang lama sekali mengerjakan soal, ketika ditanya apa yang menyebabkan dia lama adalah karena takut salah menjawab. Padahal soal yang dikerjakan hanya soal latihan yang jika salah menjawab akan ada guru yang meluruskan. Hal tersebut menjadi beban mental tersendiri bagi anak. Anak-anak jadi tidak percaya diri karena stigma jawaban matematika itu harus pasti. Kita melakukan satu dua kali kesalahan dalam belajar adalah hal yang wajar karena itu menandakan bahwa kita belum paham akan soal tersebut atau kita kurang teliti dalam membaca maksud soal. It’s okay to not be okay. Selama kita mau belajar dari kesalahan dan tidak mengulanginya lagi.

Dari kelima faktor tersebut mana yang membuat kalian insecure terhadap matematika? Yang pertama, kedua atau malah semuanya. Tulis ya di kolom komentar siapa tau kita bisa diskusi barengan.

Posting Komentar

0 Komentar